Selasa, 26 November 2013

Cerpen "Kasih Menutupi Segala Sesuatu" karya Aritya Gusmala Sari

          
         Namanya Kasih. Mahasiswi semester enam  jurusan pendidikan bahasa Indonesia di salah satu Universitas Negeri di Surakarta. Dan Dion, sahabat lelakinya yang amat dia kasihi. Mahasiswa semester enam jurusan pendidikan ekonomi. Satu kampus dengan Kasih. Persahabatan mereka dimulai ketika mereka terlibat dalam satu ekstrakurikuler di kampus. Mereka begitu dekat. Namun hanya sebatas sahabat.
            Sikapnya yang begitu perhatian pada Kasih, membuat Kasih sangat nyaman dan diam-diam memendam rasa itu. Cinta. Mulai tumbuh, semakin besar dan bergelora. Tapi sayangnya Kasih hanya bisa memendam itu, tanpa ada keberanian untuk mengungkapkannya.
            Rabu sore. Kantor radio kampus.
            "Sih, keluar yuk, makan." ajak Dion.
            "Makan dimana Yon?"
            "Di warung makan dekat lampu merah aja gimana? Mau?"
            "Yaudah deh, yuk. Kamu yang ngajak, kamu yang bayarin ya? Haha..." gurau Kasih.
            "Sip beres, apa sih yang nggak buat kamu sahabatku sayang." sambil mencubit pipi Kasih.
            "Heh? Nggak-nggak, aku bercanda kali Yon."
            "Tapi aku serius, gimana dong? Hahaha... Udah gampang, aku aja yang bayarin. Aku juga mau curhat sesuatu nih sama kamu, jadi buat bayar jasanya aku traktir makan." tawa Dion
            "Hah? Mau curhat apa sih? Oke deh kalau maksa. Hahaha..." tawa Kasih.
            "Kalau maksa? Basa-basi nolak, akhirnya mau juga. Dasar kamu... haha. Yuk naik." ajak Dion pada Kasih untuk segera naik ke motornya.
***
            Warung Makan Bu Yo.
            "Gado-gado dua, es teh satu, sama es jeruknya satu ya bu." pesan Dion.
            Mereka langsung menuju ke meja nomor 22.
            "Emang kamu mau cerita apa sih? Sampai mau traktir aku segala?" tanya Kasih penasaran.
            "Coba tebak? Sesuatu yang pasti buat aku senang banget. hehe..."
            "Hem, apa? Ujianmu bagus? Dapat uang jajan lebih? Apa ketemu cewek cantik?"
            "Nah itu tuh yang terakhir hampir benar. Haha... " tawa Dion menggoda.
            "Ketemu cewek cantik? Siapa? Dimana? Udah deh cerita ajalah, nggak usah main tebak-tebakkan." Kasih semakin penasaran.
            "Oke-oke, aku ceritain deh. Jadi kemarin waktu aku di sekre sendirian, tiba-tiba ada cewek ngakunya sih anak semester empat jurusan pendidikan bahasa Indonesia juga kayak kamu. Dia mau gabung sama kita di radio kampus. Cantik banget Sih. Aku langsung melting gitu lihat dia. Asli udah cantik, lemah lembut, ramah. Gemes banget deh!" terang Dion dengan semangatnya.
            "Terus? Kamu suka gitu sama dia?" tanya Kasih.
          "Ehm, suka? Nggak cuma suka, tapi kayak ngrasain cinta pada pandangan pertama. Hahaha..." girang Dion menutupi suatu hal kecil yang terjadi. Raut wajah Kasih, sedikit berubah setelah mendengar cerita Dion. Sebelumnya Dion tidak pernah menceritakan hal seperti ini. Tentang wanita. Dan entah kenapa, Kasih merasa cemburu. Sesak mendengarnya. Namun ia tetap menutupi kesedihan itu dengan senyum indahnya.
            "Oh, terus kamu mau ngapain? Dekati dia?" tanya Kasih sambil terus menutupi perubahan sikapnya.
            "Jelas dong, apalagi dia satu ekstrakurikuler sama kita, anggota baru gitu Sih. Aduh senangnya, bisa tambah semangat nih. Haha... Tapi bingung dekatinya gimana? Menurutmu gimana? Langkah awal aku harus ngapain? Bantuin aku dong biar dekat sama dia." pinta Dion dengan memasang muka memelas.
            Dengan menahan sedikit rasa sakit dan kecewanya, Kasih berbicara.
         "Ehm, oke deh. Nanti gampang aku dekati dia dulu. Kalau udah, aku dekatkan dia sama kamu. Oke?" jawab Kasih dengan ceria yang sedikit memaksa.
            "Huaaa, makasih Kasih sayang..."
            Mereka melanjutkan makan, dan setelah itu segera pulang ke kos masing-masing.
***
            Kost Bintang.
            Di dalam kamar Kasih duduk termenung memandang fotonya bersama Dion. Hatinya berkata "Sesuatu yang aku takutkan akhirnya terjadi."
            kring... kring... Dering handphone membuyarkan lamunan Kasih.
            "Halo, Dion."
            "Hai Sih, lagi apa?" terdengar suara Dion dari seberang
            "Lagi di kamar aja nih, kenapa?"
            "Sih, hari Jumat nanti kita kan ada acara keakraban di taman kampus, kamu datang kan?"
            "Iya datang, kenapa?"
            "Ehm, nggak lupa kan sama rencana kita dekati si anak baru yang aku ceritain tadi sore?"
         "Iya, inget-inget Yon, tenang aja. Aku bakal beraksi kok hari Jumat nanti. Aku mintain nomor hapenya sekalian deh." terang Kasih.
            "Asik, makasih ya. Aku tunggu kabarnya. Da..."
            "Hah? Kamu telepon aku cuma mau ngomong itu?" tanya Kasih dengan heran.
            "Iya Sih, cuma mau ngingetin itu. Hahaha..." Klik.
***
            Jumat. Taman kampus.
            "Selamat sore buat semua anggota baru, para calon penyiar radio kampus. Kalian tahu kan, kenapa sore ini kita kumpul di sini? Ceritanya kita mau ngadain keakraban nih sesama anggota, baik yang lama maupun yang baru biar kita lebih dekat lagi dan kenal satu sama lain. Karena di sini kan kita bakal jadi satu keluarga, jadi wajib hukumnya buat saling mengenal." terang seorang mahasiswa yang juga pengurus radio kampus.
            Dari jarak yang tidak cukup jauh dari si pembicara, terlihat Kasih dan Dion duduk berdampingan sambil mengamat-amati anggota-anggota baru mereka.
            "Mana Yon, cewek yang kamu maksud?"
            "Itu loh, kelihatan kok dari sini. Pakai baju merah, celana panjang hitam. Rambut panjang digerai, cantiknya..."
            "Oh itu, iya aku lihat. Iya dia cantik banget Yon" puji Kasih.
            "Haha... Cantik kan. Ayok dong deketin aku sama dia. Kalian kan satu prodi pasti cepat dekatnya. Jujur aku malu nih nggak tahu kenapa. Mau dekati agak gerogi gimana gitu. Hehe..."
            Dion tidak seperti biasanya. Pemalu? Itu bukan sifatnya. Gadis itu mampu membuat Dion malu dan gerogi untuk mendekati dirinya. Sungguh, ini sesuatu yang aneh. Benarkah Dion sungguh-sungguh tertarik dengan gadis itu? Kasih masih bergumul dengan pikirannya sekalipun ia sedang berbicara dengan Dion. Namun, dia akan lebih senang jika melihat Dion senang, walaupun hatinya sudah mulai merasakan sakit.
            Saat waktu istirahat, Kasih pun mendekati gadis itu, dan mulai menyapanya.
            "Hai..." sapa Kasih dengan ramah.
            "Hai juga mbak..." jawab gadis itu seramah mungkin.
            "Boleh kenalan nggak?"
            "Boleh mbak, boleh."
            "Aku Kasih, anak pendidikan bahasa Indonesia semester enam, kebetulan di sini jadi pengurus radio kampus juga. Kalau kamu?
            "Wah, berarti mbak Kasih kakak tingkatku dong. Aku Sarah mbak, dari pendidikan bahasa Indonesia juga semester empat." jawab gadis itu dengan riang.
            "Wah iya ya? Selamat bergabung ya adik tingkatku." seru Kasih dengan tulus.
            "Oh iya, aku kenalin sama sahabatku ya? Dia pengurus radio kampus juga lho. Dion, sini..." teriak Kasih pada sahabatnya itu. Mendengar namanya dipanggil, Dion langsung berlari menuju ke arah sumber suara.
            "Ya, ada apa Sih?"
            "Ini kenalin salah satu anggota baru kita, namanya Sarah, anak pendidikan bahasa Indonesia sama kayak aku, semester empat. Sarah, kenalin ini Dion sahabat sekaligus partner dikepengurusan radio kampus. Dia anak pendidikan ekonomi, semester enam." Kasih memperkenalkan.
            "Hai, Dion..." Dion menjulurkan tangannya sambil tersenyum malu.
            "Hai mas, aku Sarah." balas Sarah.
            Sesuatu yang sangat diharapkan dan dinanti-nantikan Dion, akhirnya tercapai. Tahap perkenalan sudah bisa ia lalui, walaupun sedikit gerogi. Tahap pendekatan selanjutnya, ia pun sudah berhasil mendapatkan nomor handphone Sarah melalui Kasih. Dia mulai menghubungi Sarah melalui pesan-pesan singkatnya. Dion senang, karena dia merasa mendapatkan respon yang baik dari Sarah. Demi menambah intensitas pertemuannya dengan Sarah, dia rela mengantar-jemput Kasih ke gedung kuliahnya. Awalnya Kasih menolak, namun demi Dion dia tidak berkeberatan. Walaupun motivasinya hanya untuk melihat dan bertemu Sarah, namun Kasih mencoba untuk memaklumi dan menahan perasaan sakitnya.
***
            Empat bulan berlalu.
            Dion semakin dekat dengan Sarah. Menelepon, mengantar Sarah ke kampus, menemani Sarah siaran di radio, atau sekadar jalan-jalan hampir menjadi rutinitas Dion. Walaupun Dion belum mengungkapkan apa yang dia rasa, namun dia sudah bisa menangkap bahwa Sarah pun sudah mulai merasakan hal yang sama seperti dirinya. Dion tidak ingin terburu-buru, hanya ingin lebih lagi mempersiapkan dirinya untuk memulai sesuatu yang baru dengan Sarah. Dengan saling mengenal terlebih dahulu dari setiap kelebihan sampai kekurangan sebelum menjalin ikatan. Karena baginya, pacaran bukanlah sesuatu untuk main-main. Namun pacaran itu merupakan proses menuju ke jenjang yang lebih tinggi yaitu pernikahan. Dia dan Sarah sudah sama-sama mengerti akan proses itu dan mereka berdua berkomitmen untuk saling mendoakan satu sama lain.
***
            Kasih. Dia masih saja memendam perasaannya terhadap Dion. Sungguh sakit sekali. Namun dia berpikir alangkah lebih sakitnya ketika Dion tahu perasaannya dan merasa bersalah tidak bisa membalas cintanya. Hal itu justru membuat Kasih takut kalau-kalau persahabatannya menjadi renggang dan dia justru tidak bisa dekat dengan Dion lagi. Dia lebih baik melihat Dion bersama Sarah, namun dia masih tetap bisa berada dekat Dion, sebagai sahabat tentunya.
            "Walaupun hatiku sakit dan sangat sedih, tapi demi melihatmu bahagia dengan Sarah. Aku rela Dion menahan perasaan ini. Demi kamu..." gumam Kasih dalam kesendiriannya.
***
            Jumat sore, kantor radio kampus.
            Terlihat Kasih keluar dari ruang siaran. Tiba-tiba...
            "Kasih..." panggil seorang lelaki di belakangnya. Seketika Kasih menoleh.
            "Iya mas Kris, ada apa?" tanya Kasih.
            Kris adalah mahasiswa semester 8 yang sebenarnya sudah bisa dikatakan sebagai alumni penyiar radio kampus, karena saat ini dia tinggal menunggu wisuda satu bulan lagi. Namun, untuk mengisi waktu-waktu kosongnya, dia lebih banyak berkunjung ke kantor radio kampus. Sesekali dia juga masih mengisi siaran sebelum dirinya resmi menjadi alumni.
            "Ehm, habis siaran ini kamu mau kemana Sih" tanya Kris.
            "Aku mau langsung pulang ke kos mas. Kenapa?"
            "Kalau aku ajak keluar mau nggak? Temenin aku beli sesuatu buat seseorang. Bisa?"
            Hah? Nggak salah nih? Mas Kris yang hampir nggak pernah ngobrol, jangankan ngobrol, ngomong sama dia aja bisa dihitung jari. Tiba-tiba sekarang, ngajak pergi? Sehat kan nih orang? Batin Kasih.
            "Eh? Pergi kemana mas? Kok tumben? Hehe..." tanya Kasih masih dengan perasaan aneh.
            "Ke mall aja gimana? Aku mau cari sesuatu buat cewek nih. Karena ini ruangan berasa sepi dan nggak ada cewek yang bisa diajak, yaudah aku ajak kamu aja. Nggak apa-apa kan?"
            "Oh iya mas, nggak apa-apa kok. Tapi aku kan bawa motor, gimana?"
            "Pakai motorku aja, kita ke kosmu dulu taruh motormu, terus kamu bonceng aku. Oke ya"
            "Oh okelah kalau begitu."
            Mereka berdua segera bergegas menuju kos Kasih, meninggalkan motornya di kos. Kemudian mereka berdua berboncengan menuju mall baru di daerah Solo Baru.
***
            Sesampainya di Harsini Mall, Solo Baru.
            "Emangnya kamu mau cari apa mas?" Kasih mencoba membuka percakapan.
            "Mau cari cincin nih, bantuin aku ya buat cari yang bagus." jawab Kris.
            Dia itu sebenarnya lelaki yang baik dan dewasa. Tapi memang sifatnya terkadang sedikit cuek. Plegmatis. Justru disitulah letak pesonanya, menurut orang-orang di sekitarnya.
            "Oh iya mas, kalau aku bisa ya. Hehe... Memangnya cincin buat siapa mas? Pacarmu?"
            "Bukan."
            "Terus buat siapa? Calon istrimu? Hehehe..." gurau Kasih.
            "Bisa, doakan aja jadi isteriku di masa datang." dengan muka yang masih sedikit acuh. Namun tiba-tiba Kasih terdiam sejenak. Ada satu guratan senyum tersirat dari raut wajahnya. Sangat mempesona.
            "Ini dia tokonya. Ayo masuk! Kamu lihat-lihat dulu terus pilih cincin yang kamu suka. Kalau udah ketemu langsung bilang aku ya, biar aku lihat dulu."
            "Oke mas. Aku coba cari ya..."
***
            Lima belas menit berlalu. Akhirnya...
            "Mas, aku udah nemu nih. Sini lihat dulu!" seru Kasih pada Kris. Lalu Kris segera menghampiri. "Mana?"
            "Ini mas, bagus nggak?"
            "Kamu suka?"
            "Iya, lucu mas. Sederhana tapi tetep keliatan cantik. Eh loh? Kenapa malah tanya aku suka atau nggak? Apa hubungannya kalau aku suka sama cincin ini?" Kasih sedikit bingung.
            "Nggak, kalau kamu suka pasti dia juga suka. Soalnya dia tipe orang kayak kamu. Aku ykin kalau kamu suka, dia juga suka."
            "Masa sih? Tapi kan orang punya pilihan masing-masing mas walaupun kata mas tipe dia hampir mirip sama aku? Kalau nanti dia nggak suka, aku nggak mau tanggung jawab lho ya." jelas Kasih panjang lebar.
            "Udah deh percaya aja sama aku. Dia pasti suka. Yaudah yuk kita makan." ajak Kris.
            "Loh makan? Terus cincinnya nggak jadi dibeli? Kasih semakin heran lagi.
            "Nggak ah, berubah pikiran." jawab Kris enteng.
            Batin Kasih agak jengkel, "Ngapain ngajak-ngajak, nyuruh nyari cincin eh akhirnya nggak dibeli. Sebenernya maunya dia apa sih?"
            "Makan di sini aja ya." ajak Kris sambil menuju ke sebuah tempat makan di mall itu.
            "Iya mas."
           
            Ketika Kasih dan Kris sedang menunggu pesanan makanan mereka. Tiba-tiba ada sepasang muda-mudi menghampiri mereka. Kasih sangat kaget dan sedikit kecewa.
            "Dion, Sarah... kalian juga ada di sini?" tanya Kasih.
            "Iya nih Sih, kita lagi jalan-jalan cari sepatu buat Sarah. Loh, sama mas Kris juga? Kok bisa? Mas..." sapa Dion dan Sarah pada mas Kris.
            "Hai Dion, apa kabar?" sapa Kris pada Dion.
            "Baik mas, mas Kris sendiri gimana?"
            "Aku jug baik kok."
            "Kok kalian tumben-tumbenan bisa jalan berdua?" cengir Dion.
            "Iya tadi mas Kris ngajak beli cincin buat calon istrinya tapi nggak jadi beli. hem..."
            "Hah, calon istri? Siapa mas? Hayoh..." canda Dion.
            "Masih didoakan kok, kamu bantu doa ya." jawab Kris.
            Suasana lebih santai dibandingkan tadi. Mas Kris juga sudah mula tertawa-tawa. Namun ada satu perasa
n yang berbeda dalam diri Kasih semenjak kedatangan Dion dan Sarah. Ternyata rasa itu masih ada, Kasih masih merasa sedikit cemburu. Dan tanpa seorangpun tahu, diam-diam ada yang memperhatikan dan mencuri pandang terhadap Kasih.
            "Mas Kris, Kasih, kita pamit duluan ya. Masih harus cari sepatu lagi, belum dapat. Obrolan kita sambung lagi kalau ketemu di kantor radio kampus. Bye..." Dion dan Sarah pun pergi. Setelah Dion dan Sarah pergi, Kris minta ijin sebentar kepada Kasih dengan alasan ingin membeli sesuatu untuk keperluan pribadi. Tidak terlalu lama, Kris segera kembali.
            "Kamu kenapa?" tanya Kris tiba-tiba.
            "Hah? Nggak ada apa-apa mas. Memangnya aku kenapa?" tanya Kasih sokpolos.
            "Udah nggak usah bohong sama aku."
            "Beneran mas, nggak ada masalah apa-apa? Kok mas Kris tiba-tiba tanya begitu?"
            "Matamu nggak bisa bohong Sih. Kamu memendam sesuatu?" selidik Kris.
            "Ah, nggak kok mas. Aku nggak memendam apa-apa. Tenang aja deh. Ayo makan, makanannya udah datang. Asik, mari makan." Kasih mencoba mengalihkan pembicaraan, namun Kris meyakinkan diri sendiri kalau dia tidak bisa dibohongi. Apalagi oleh Kasih.

            Seusai makan. Pukul 19.13
            "Kita mau kemana lagi mas? Pulang?"
            "Nggak. Temani aku ke Taman Kota ya."
            Merasa tidak enak kalau menolak, akhirnya Kasih pun setuju. "Boleh mas."
***
            Taman Kota, 19.25
            "Kita duduk di sini aja." ajak Kris sambil mempersilakan Kasih duduk.
            "Kamu ada masalah sama Dion dan Sarah?" tanya Kris to the point.
            "Hah? Kok tanyanya begitu? Nggak kok." jawab Kasih sedikit jengkel karena merasa disudutkan terus menerus oleh Kris.
            "Emangnya penting banget ya mas buat kamu kalau memang aku ada masalah sama orang lain? Dari mall tadi kok tanyanya kayak begitu mulu?" Kasih mulai terganggu dengan pertanyaan-pertanyaan Kris. Mendengar jawaban Kasih, Kris langsung berusaha menguasai suasana dengan menggunakan kata-kata dan intonasi yang agak santai.
            "Yaudah yaudah, kalau memang nggak ada masalah ya nggak apa-apa. Aku cuma ngerasa aja tiap di depan Dion ataupun Sarah kamu langsung sedikit berubah. Mungkin kamu tetap memperlihatkan seorang Kasih yang ceria jadi mereka nggak curiga, tapi aku bisa lihat dari sorot mata kamu. Ada sesuatu yang kamu pendam entah apa itu, yang pasti itu beban dan nggak baik buat kamu. Aku tanya begitu barangkali kamu mau cerita, dan kali aja aku bisa bantu mengurangi beban kamu. Tapi kalau memang kamu rasa nggak ada yaudah nggak apa-apa." penjelasan yang cukup panjang dari Kris, sekaligus untuk memancing Kasih supaya mau menceritakan permasalahannya.
            "Sebenarnya..." Kris tersenyum. Kasih pun mulai menceritakan permasalahannya.
            "Iya mas, aku sama Dion bersahabat sejak jadi penyiar di radio kampus. Kita dekat banget hampir kayak orang pacaran. Tapi itu salah, sedekat apapun kita, kita akan tetap jadi sahabat. Dan tanpa aku sadari, ternyata rasa sayangku ke dia lebih dari seorang sahabat. Cewek mana yang nggak seneng kalau bisa diperhatikan, dimanja, dijaga sama seorang cowok. Aku jadi selalu merasa spesial buat dia dan takut kalau dia sampai suka sama cewek lain. Aku nggak mau itu terjadi, nggak mau rasa sayang itu terbagi buat cewek lain." Kasih menghela nafas sejenak.
            "Dan akhirnya apa yang aku takutkan terjadi mas. Dia ternyata mulai suka sama Sarah. Dan dia minta tolong sama aku buat jodohin dia sama Sarah. Sakit banget rasanya mas, jodohin seseorang yang kita sayang sama orang lain. Tapi nggak apa-apa, aku pikir lebih baik aku yang nahan sakit itu daripada aku harus ngomong perasaanku ke Dion dan justru bisa membuat hubunganku sama Dion jauh. Tetap dekat sama Dion itu udah cukup buat aku, walaupun sakit harus sering-sering lihat dia selalu bareng sama Sarah mas. Hem..." Perlahan air mata keluar dari mata indah Kasih. Untuk pertama kalinya, Kris melihat Kasih yang ceria menangis di hadapannya. Kris termenung, membiarkan Kasih menuntaskan air matanya.
            Menyadari dirinya terlalu terlarut dalam suasana sedih. Kasih segera kembali berusaha menguasai dirinya.
            "Eh, maaf ya mas. Aku malah curcol, pakai acara nangis lagi. Ketahuan cengengnya ya mas? Maaf maaf mas..." ungkap Kasih dengan malu-malu.
            "Iya, nggak apa-apa Sih. Aku malah senang kamu bisa jujur sama aku. Karena sebenarnya ini yang aku inginkan." Kris terdiam sejenak.
            "Kamu udah mau jujur sama aku. Sekarang aku yang mau ngomong jujur sama kamu. Sebenarnya udah lama aku perhatikan kamu. Sejak kamu gabung sama radio kampus. Aku kagum sama kamu yang selalu ceria, lincah, apa adanya dan sesedih apapun kamu hampir nggak pernah kamu tunjukkan ke orang lain. Aku sering ke kantor radio ya salah satu alasannya ingin ketemu kamu, lihat kamu. Tapi aku mulai merasa kamu berbeda sejak Dion dekat sama Sarah, mungkin perubahan itu nggak terlalu mencolok buat anak-anak kantor. Tapi buat aku itu terlihat banget. Keceriaan yang tulus itu tercuri. Dan aku nggak nyaman dengan itu. Makanya aku berani mendekati kamu sekarang. Dan maaf tanpa basa-basi aku langsung ngomong seperti ini."
            "Tadi kamu tanya, penting nggak sih buat aku kalau kamu bermasalah sama orang lain? Buat aku itu penting. Bukan hanya buat kepentinganku sendiri. Tapi kamu tahu nggak sih, sesuatu yang tulus dari hati kamu akan berdampak baik buat lingkungan sekitarmu, itu akan berpengaruh banget. Setiap ketulusan kasih yang dari hati itu akan menjadi berkat buat orang lain. Memberikan energi positif buat lingkungannya. Dan kamu punya itu lebih besar dari orang lain. Anak-anak mungkin nggak terlalu melihat perubahan kamu, tapi mereka udah mulai merasakan perubahan itu, perubahan yang pengaruhnya kurang baik."
            Kasih hanya terdiam. Dia tidak menyangka kalau diam-diam Kris sudah memperhatikannya sejak dulu. Dan dia juga tidak menyangka sebegitu pedulinya Kris pada dirinya. Sebegitu banyak kata-kata yang selama ini dipendamnya.
            "Kalau sampai saat ini kamu masih berpikir bahwa cinta sejati adalah ketika kamu mengorbankan perasaanmu untuk orang yang kamu sayang, sedangkan sampai saat itu hatimu masih dalam bayang-bayang kesedihan, aku katakan itu salah. Salah besar! Kasih yang sejati itu sabar, murah hati, tidak cemburu, tidak memegahkan diri, tidak sombong, tidak melakukan yang tidak sopan, tidak mencari keuntungan diri sendiri, tidak pemarah, tidak menyimpan kesalahan orang lain, tidak bersukacita karena ketidakadilan tetapi bersukacita karena kebenaran, menutupi segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu dan sabar menanggung segala sesuatu. Ketika kamu memilih untuk merelakan dia dengan seseorang yang dia kasihi, ya sabarlah dan jangan cemburu. Kasihmu harus menutupi segala sesuatu. Ketika kamu masih dalam kesedihan itu, kamu belum bisa merelakannya tulus dari hati kamu. Seolah kamu menyimpan kesalahan dia yang terus membuat kamu sakit. Kamu harus menutupi kesedihan itu dan bertanggung jawab untuk menghapuskan kesedihan itu. Teruslah sabar dan berharap akan sukacita yang benar yang akan kamu dapatkan sebagai ganti kesedihan itu. Kasih yang sejati, akan berakhir bahagia, bukan kesedihan. Ketika kamu merelakan dia bahagia dengan orang lain, kamu pun harus memiliki pengharapan akan memiliki akhir yang bahagia pula bersama orang yang memang diciptakan untuk kamu." dengan tenang Kris mengungkapkan itu semua.

            Mendengar semua kata-kata Kris, hati Kasih langsung terasa hancur. Hancur karena dia menyadari akan kesalahan yang selama ini dibiarkan terus tetap berada di dalam hatinya. Kesalahan karena dia tetap memelihara rasa sakit, kecewa, kepahitan yang menutupi kasih sejati yang harusnya dia bagikan untuk orang lain. Malam itu, Kasih sungguh-sungguh tidak bisa menahan lagi air matanya. Begitu deras air mata itu mengalir tanpa henti. Di sampingnya, Kris setia menemani Kasih, mengucap syukur ketika Kasih menyadari kekeliruannya selama ini, dan berusaha menenangkan Kasih, membantu membangkitkan cinta kasih sejati yang ada di dalam hati Kasih. End.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar