Kos
Luna, 17.30 WIB.
Terburu-buru Rina mengunci motornya
dan setengah berlari dia segera masuk kos menuju kamar mandi. Keluar dari kamar
mandi, Noni teman sekosnya menyapanya.
“Hai Rin, tumben kamu baru pulang.”
“Iya nih Non, tadi ada kuliah
tambahan jadi pulangnya lebih sore. Kenapa?”
“Oh... Ini aku sama mbak Shinta mau
jalan. Kamu mau ikut nggak?”
“Emangnya kemana Non? tanya Rina.
“Ke Teen’z Cafe nih, ikutan yuk?
Sekalian ajak mbak Tira juga. Selama di sini, jarang-jarang kan kita ajak jalan
dia. Gimana, oke ya?” bujuk Noni.
“Ehm...oke, boleh deh! Tapi aku
mandi dulu ya. Emang kalian udah mandi?”
“Udah dari tadi kali sebelum kamu
pulang, ini tinggal kamu yang belum mandi. Cepetan ya keburu ramai nih, kita
tunggu.”
Segera Rina menuju kamar mengambil
handuk dan pakaian ganti, lalu menuju kamar mandi. Sepuluh menit berlalu,
dengan cepat dia menyelesaikan mandinya dan segera bersiap-siap untuk pergi.
“Oke, aku udah siap. Mau berangkat
sekarang?” tanya Rina pada teman-temannya.
“Iya, ayo berangkat sekarang. Keburu
ramai kita nggak kebagian tempat.” jawab mbak Shinta sambil mengajak mereka
keluar.
Dengan mengendarai motor, Rina,
Noni, mbak Shinta, dan mbak Tira melaju menuju ke Teen’z Cafe.
***
Sesampainya di Teen’z Cafe.
“Hah gila! Ramai banget mbak, kita
mau duduk dimana?” tanya Noni pada Shinta.
“Iya nih, dimana? Ehm... kita cari
tempat lesehan aja gimana? Aku sama mbak Tira cari tempat, kalian berdua pesan
makan. Aku mau jagung bakar serut, fish ball, otak-otak, sama lemon tea.”
cerocos Shinta.
“Oke, kalau mbak Tira mau pesan
apa?” tanya Noni.
“Aku pesan roti bakar, jagung bakar
serut rasa barbeque, sosis bakar sama lemon tea juga.”
“Oke mbak, kita pesan makan dulu.”
Rina dan Noni segera memesan
makanan, sedangkan Shinta dan Tira sibuk mencari tempat untuk mereka makan.
***
“Duh lama banget sih, udah laper nih
aku.” rengek Shinta.
“Sabar mbak, sebentar lagi juga
datang. Aku ke kamar mandi dulu ya, kebelet pipis nih. Hehehe...” Rina pun
beranjak pergi ke kamar mandi. Namun waktu Rina setengah jalan. Tiba-tiba...
Brug...!!!
“Aw. Aduuuh!” teriak Rina.
“Wah ,maaf maaf mbak, nggak sengaja.
Sini saya bantu berdiri. Sekali lagi maaf ya mbak.” Kata laki-laki itu sambil
mengulurkan tangannya untuk menolong Rina berdiri.
“Iya nggak apa-apa kok mas.” sahut
Rina kepada laki-laki itu sambil menerima uluran tangannya untuk berdiri.
“Terima kasih mas.” ucap Rina sambil
ngeloyor ke kamar mandi meninggalkan laki-laki yang tidak sengaja menabrak
dirinya di dalam kafe.
Seusainya dari kamar mandi.
“Mbak, pesanan kita udah datang?”
tanya Rina tiba-tiba kepada Tira setelah dia tepat berdiri di hadapan meja
nomor 22, tempat yang akan dia pakai makan.
“Udah kok, sini kita makan.”sahut
mbak Tira.
Ketika Rina duduk, terkejutlah dia
mendengar suara seorang laki-laki menyapa dan tersenyum kepadanya, duduk di
sebelah meja tempat ia makan. Rina membalas senyum itu dengan ekspresi berpikir
“Dia siapa ya?”. Melihat air muka Rina yang seperti itu, lelaki itu
mengingatkan bahwa dialah yang menabrak Rina beberapa menit yang lalu.
“Shin, maaf ya tadi aku nggak
sengaja nabrak teman kamu.” Kata laki-laki itu pada Shinta.
“Hah? Iya iya nggak apa-apa Galih.
Jadi tadi kamu ditabrak Galih ya Rin?” tanya Shinta pada Rina.
“Eh, ehm... Iya mbak Shinta. Tapi
nggak apa-apa kok. Hehe...” jawab Rina enteng.
“Oh iya, sini aku kenalin sama Galih.
Dia temanku SMA dulu. Sekarang juga satu kampus tapi beda fakultas. Dia kuliah
di FKIP, jurusan pendidikan bahasa Indonesia, sama kayak kamu Rin, berarti dia
kakak tingkat persis setahun di atasmu. Masa kamu nggak kenal? Kenalin Lih, ini
Noni anak FH baru semester 2, yang ini mbak Tira mahasiswa S2 pendidikan bahasa
Inggris. Nah yang terakhir ini harusnya kamu tahu, dia adik tingkat kamu
persis, namanya Rina.” jelas Shinta panjang lebar, yang lain cuma tersenyum.
“Hah? Mas Galih kakak tingkatku? Kok
aku nggak tahu? Tapi aku emang nggak terlalu paham sama banyak kakak tingkat
sih, cuma tahu beberapa aja yang sering nongol dan lewat di depanku. Hehe...
maaf mas.” terang Rina dengan cueknya.
“Wah sama kayak Rina, Shin. Aku juga
nggak tahu kalau dia adik tingkatku. Soalnya aku memang jarang nongkrong di
kampus. Pulang kuliah aku langsung pulang. Nongol kalau ada kelas doang.
Hahaha...”
“Ehm oke deh.” Singkat Shinta.
Akhirnya mereka makan berlima,
karena Galih sendiri jadi Shinta spontan mengajaknya gabung. Masih dengan
cueknya Rina makan, sampai dia tidak menyadari kalau ada yang mulai
memperhatikannya.
Selesai makan, mereka pulang ke kos
masing-masing. Sebelum pulang tadi, Galih sempat berbincang dengan Shinta,
entah apa ketiga temannya pun tidak tahu.
Sesampainya di kos Luna, 21.15 WIB.
Klik. Bunyi handphone Rina, menerima 1 pesan singkat dari +628612121994:
“Halo Rin, sudah sampai
kos?”
Rina bingung, dalam hatinya berkata
“Nomor siapa nih?” Lalu dia membalas.
“Iya, udah. Ini siapa
ya?”
“Oya lupa, ini Galih
Rin. Nggak apa-apa kan aku sms kamu?”
“Iya nggak apa-apa. Ada
apa ya mas tiba-tiba sms?”
“Nggak apa-apa sih, cuma
pengen kenal kamu aja. Boleh kan?”
“Boleh. Tapi tadi kan
udah kenalan waktu di kafe?”
“Ya
maksudnya kenal lebih lagi. Apalagi kamu adik tingkatku, pengen kenal aja sama
adik tingkat. Biar kesannya ada adik tingkat yang aku kenal gitu. Hehehe” balas
Galih beralasan.
“Oyaya,
nggak apa-apa sih.” Balas Rina masih dengan cueknya.
Komunikasi mereka terus terjalin.
Dua sampai tiga minggu pertama, Rina masih sangat cuek saat menghadapi pesan
atau telepon Galih, masih biasa-biasa saja. Galih tidak menyerah, walaupun dia
sering tidak dihiraukan oleh Rina, namun dia tetap mendekati Rina. Semakin Rina
cuek terhadap dirinya, semakin dia mendekati Rina. Tiga bulan berlalu, sampai
akhirnya Rina mau diajak jalan dengan Galih, sebuah perubahan yang baik dan
kemajuan yang bagus untuk Galih. Rina sudah tidak secuek dulu, sekarang dia
lebih bersahabat. Di kampus pun mereka terlihat dekat. Sampai teman-teman Galih
terheran-heran atas perubahan sikap Galih. Dia yang biasanya berangkat ke
kampus kalau hanya ada kuliah, seusai kuliah dia pasti langsung pulang. Kalau
dosen belum datang, dia lebih memilih menunggu di dalam kelas, tidak seperti
sebagian besar teman-teman lelakinya yang menunggu di luar kelas sambil
mengamati adik tingkat mereka, barangkali saja ada yang menyangkut di hati.
Tapi sekarang dia mulai menyesuaikan diri, dia sering nongkrong-nongkrong
dengan teman-temannya di luar kelas sambil mengamati Rina jika dia lewat. Kalau
tahu Rina belum pulang, dia dengan setia menunggu di parkir motor kampus.
Waktu terus berjalan, tidak terasa
sudah lima bulan mereka dekat. Mereka sering jalan berdua, berangkat dan pulang
kuliah bersama. Karena semakin seringnya bersama, tidak disadari perasaan suka
mulai muncul di hati Rina. Dia mulai mengharapkan Galih lebih dari sekadar
teman, lebih dari sekadar kakak tingkat. Dia merasa nyaman bila berada di dekat
Galih. Dia merasa Galih pun merasakan hal yang sama bahkan sebelum dia
merasakannya. Namun yang dia bingungkan, kenapa sampai saat ini Galih belum
pernah mengungkapkan sesuatu pada dirinya?
***
Suatu sore di kampus. Langkah Rina
terhenti ketika dia mendengar suatu percakapan di dalam kelas, antara seorang
perempuan dan laki-laki. Percakapan yang menyebut-nyebuy namanya dengan sangat
jelas. Suara laki-laki yang amat sangat dia kenal. Dia memutuskan untuk diam
dan mendengarkan.
“Jadi selama ini niat awal kamu
deketin Rina, karena mau dekat sama Shinta? Biar bisa lihat Shinta kalau kamu
dateng ke kos Rina gitu?” heran seorang perempuan.
“Iya Dit, niat awal aku gitu. Karena
aku masih sayang banget sama Shinta. Kamu tahu sendiri sejak putus sama Shinta
aku nggak pernah mau pacaran lagi, dekat-dekat sama cewek lain aja mikir-mikir.
Aku selalu cari cara biar setidaknya aku tahu kabar dia tiap hari. Setelah aku
tahu Rina teman kos Shinta dan dia adik tingkat kita, aku langsung ambil
kesempatan itu...”
Deg!
Jantung Rina seakan terhenti. Tik!
Tik! Tik! Duarrr!
Percakapan itu seakan menghancurkan
seluruh bangunan kampus, roboh menimpa dirinya, hingga lenyap tertimbun
reruntuhan. Nafasnya seolah berhenti. Air matanya tidak bisa tertahan untuk
tidak menetes. Tiba-tiba...
“Rinaaa!!!
udah ketemu belum sama Pak Joko?” teriak temannya dari kejauhan. Rina
gelagapan, tidak mau keberadaannya diketahui oleh Galih dan Dita. Dia langsung
berlari ke arah temannya. Sambil
menangis, Rina meminta temannya untuk mengantarkannya sehera pulang ke kos.
Sedangkan
Galih, ketika mendengar nama Rina dipanggil. Dia kaget dan segera keluar.
Ketika dia keluar, dia melihat Rina sudah berlari menarik temannya. Kemudian
pulang. Dalam benaknya berkata “Dia udah tahu, dia salah paham.”
“Giman
Lih? Tadi beneran Rina?” tanya Dita cemas.
“Iya
Dit, dan dia salah paham. Aku yakin dia pasti salah paham dan marah sekali
padaku.” sesal Galih.
“Salah
paham bagaimana maksudmu?” tanya Dita heran.
“Ceritaku
tadi belum selesai Dit. Niat awalku memang kayak itu. Tapi kenyataannya
berbeda, sangat berbeda. Proses berbulan-bulan, aku kira akan tahan buat nggak
timbul perasaan lain terhadap Rina, karena keyakinanku sangat kuat bahwa rasa
sayangku untuk Shinta dulu bisa membentengi diriku buat mencintai yang lain. Tapi
akhirnya berbeda. Di tengah kedekatanku sama Rina, mulai tumbuh perasaan itu.
Aku nggak pernah berani ngungkapin itu. Aku cuma takut kalau ternyata aku nggak
benar-benar sayang dia, tapi cuma jadi pelampiasan aja. Tapi perasaan sayang
itu semakin nggak bisa ditolak. Aku mulai cemburu kalau liat dia dekat-dekat
sama cowok lain. Perhatianku semakin tulus layaknya dia itu pacarku. Aku mulai
mengharapkan dia lebih dari apa yang jadi niat awalku.” Jelas Galih.
“Tapi
sekarang dia udah tahu yang sebenarnya tapi nggak seutuhnya, dia pasti nggak
mau kenal aku lagi. Dia pasti merasa aku jahat banget.” Sambung Galih.
“Hem...
kamu yakin kamu benar-benar sayang dia?” tegas Dita.
“Sekarang
aku yakin banget Dit, aku benar-benar sayang sama dia. Aku udah nggak mikir
Shinta lagi saat aku dekat sama dia. Nggak tahu kenapa hati kecilku meyakini
itu. Dan saat ini aku takut dia terluka gara-gara aku, aku takut kehilangan dia
karena kesalahanku Dit. Gimana Dit?” resah Galih.
“Oke,
sekarang kita ke kos Rina. Kita jelasin semua kebenarannya. Kamu harus yakin
kalau dia akn ngerti dan mau percaya sama kamu.
Kalau dia juga sayang kamu, dia akan percaya sama kamu, walaupun awalnya
sulit, tapi kita harus berusaha dulu. Oke?!”
“Oke
Dit, sekarang kita ke kos Rina.”
Dengan
segera, tanpa basa-basi Galih dan Dita segera meluncur ke kos Galih.
***
Kos
Luna. Semua penghuni kos kebingungan mendapat Rina pulang dengan kedaan
menangis. Dan sekarang dia mengunci pintunya di dalam kamar. Di tengah
kebingungan mereka, Galih dan Dita datang.
“Permisi...”
teriak Galih sambil mengetuk pintu kos. Tidak lama seorang keluar.
“Eh,
Galih. Ada apa? Cari Rina ya?” tanya Shinta.
“Iya
Shin, aku cari Rina. Apa dia udah pulang?” tanya Galih cemas.
“Dia
udah pulang, tapi kita juga lagi bingung kenapa dia pulang-pulang udah nangis
dan sekarang ngunci diri di kamar. Kamu tahu kenapa?”
“Semua
salahku Shin, boleh aku minta ijin masuk? Aku mau jelasin sesuatu ke Rina.”
Mohon Galih.
“Iya
boleh, silahkan.”
***
“Rin, kamu di dalam? Ini Galih. Rin
tolong keluar sekarang. Aku mau jelasin sesuatu sama kamu. Kamu salah paham
Rin. Kamu belum dengar semua ceritaku, aku mohon Rin.”
Belum ada jawaban dari Rina.
“Rin, aku mohon sekali ini kamu
dengar penjelasanku dulu. Kamu mau percaya atau nggak, itu hak kamu. Yang penting
sekarang kamu keluar dulu, aku jelaskan yang sebenarnya. Please Rin...” mohon Galih pada Rina.
Dan akhirnya. Glek... pintu terbuka.
Muncul Rina dengan mata sembabnya, pakaian sepulang kuliah belum sempat ia
ganti, berantakan. Dia seperti mayat hidup, lemas tidak berdaya. Galih mencoba
menggandeng tangan Rina, namun Rina menepisnya. Akhirnya dia berjalan
mendahului Galih, terus berjalan menuju halaman depan.
“Kamu mau njelasin apa lagi mas? Aku
udah dengar semua tadi di kampus!” masih dengan muka dingin.
“Rin, oke kamu tadi udah dengar? Itu
memang benar. Aku minta maaf untuk hal itu. Tapi kamu belum dengar sampai
selesai kan? Masih ada cerita setelah itu. Dan itulah kebenaran yang
sesungguhnya, saat ini.”
Kemudian Galih menjelaskan dari awal
permasalahan yang membuat Rina salah paham, hingga kebenaran yang sesungguhnya
ia rasakan. Bahwa ia sangat mencintai Rina.
“Jadi itu yang sebenarnya, tadi aku
juga udah jelasin ke Dita dan Shinta. Dan dia percaya itu. Apakah kamu mau
percaya sama aku?”
Hening sejenak.
“Rin? Mau kan kamu percaya sama aku,
please Rin, aku benar-benar sayang
kamu.”
Masih hening. Tidak ada jawaban.
“Oke Rin, kalau memang kamu nggak
percaya nggak apa-apa, itu hak kamu. Yang penting aku udah jelasin semuanya.
Sekarang aku pulang dulu, maaf udah buat kamu nangis. Kamu istirahat ya.” Galih
mulai beranjak pergi. Namun tiba-tiba...
“Mas Galih...!” teriak Rina. Galih
berbalik.
“Iya mas, aku mau percaya sama kamu.
Aku juga sayang sama kamu!” teriak Rina.
Betapa bahagianya Galih mendengar
hal itu. Langsung dia berlari memeluk Rina.
“Kamu benar sayang juga sama aku
Rin?”
“Iya mas, aku sayang banget sama
kamu. Aku nggak mau jauh dari kamu.”
“Rin, kamu mau jadi pacar aku?” kata
Galih sambil menatap lekat mata Rina.
Dengan sangat mantap Rina pun
menjawab.
“Aku mau mas jadi pacar kamu.”
“Terima kasih Rin, terima kasih
sayang.”
Akhirnya mereka pun berkomitmen
untuk menjalin ikatan pacaran. Semua anak kos tepuk tangan menyambut
kebahagiaan yang dialami Galih dan Rina sore itu. End.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar