Namanya
Kasih. Mahasiswi semester enam jurusan
pendidikan bahasa Indonesia di salah satu Universitas Negeri di Surakarta. Dan
Dion, sahabat lelakinya yang amat dia kasihi. Mahasiswa semester enam jurusan
pendidikan ekonomi. Satu kampus dengan Kasih. Persahabatan mereka dimulai
ketika mereka terlibat dalam satu ekstrakurikuler di kampus. Mereka begitu
dekat. Namun hanya sebatas sahabat.
Sikapnya
yang begitu perhatian pada Kasih, membuat Kasih sangat nyaman dan diam-diam
memendam rasa itu. Cinta. Mulai tumbuh, semakin besar dan bergelora. Tapi
sayangnya Kasih hanya bisa memendam itu, tanpa ada keberanian untuk
mengungkapkannya.
Rabu
sore. Kantor radio kampus.
"Sih,
keluar yuk, makan." ajak Dion.
"Makan
dimana Yon?"
"Di
warung makan dekat lampu merah aja gimana? Mau?"
"Yaudah
deh, yuk. Kamu yang ngajak, kamu yang bayarin ya? Haha..." gurau Kasih.
"Sip
beres, apa sih yang nggak buat kamu sahabatku sayang." sambil mencubit
pipi Kasih.
"Heh?
Nggak-nggak, aku bercanda kali Yon."
"Tapi
aku serius, gimana dong? Hahaha... Udah gampang, aku aja yang bayarin. Aku juga
mau curhat sesuatu nih sama kamu, jadi buat bayar jasanya aku traktir
makan." tawa Dion
"Hah?
Mau curhat apa sih? Oke deh kalau maksa. Hahaha..." tawa Kasih.
"Kalau
maksa? Basa-basi nolak, akhirnya mau juga. Dasar kamu... haha. Yuk naik."
ajak Dion pada Kasih untuk segera naik ke motornya.
***
Warung
Makan Bu Yo.
"Gado-gado
dua, es teh satu, sama es jeruknya satu ya bu." pesan Dion.
Mereka
langsung menuju ke meja nomor 22.
"Emang
kamu mau cerita apa sih? Sampai mau traktir aku segala?" tanya Kasih
penasaran.
"Coba
tebak? Sesuatu yang pasti buat aku senang banget. hehe..."
"Hem,
apa? Ujianmu bagus? Dapat uang jajan lebih? Apa ketemu cewek cantik?"
"Nah
itu tuh yang terakhir hampir benar. Haha... " tawa Dion menggoda.
"Ketemu
cewek cantik? Siapa? Dimana? Udah deh cerita ajalah, nggak usah main
tebak-tebakkan." Kasih semakin penasaran.
"Oke-oke,
aku ceritain deh. Jadi kemarin waktu aku di sekre sendirian, tiba-tiba ada
cewek ngakunya sih anak semester empat jurusan pendidikan bahasa Indonesia juga
kayak kamu. Dia mau gabung sama kita di radio kampus. Cantik banget Sih. Aku
langsung melting gitu lihat dia. Asli udah cantik, lemah lembut, ramah.
Gemes banget deh!" terang Dion dengan semangatnya.
"Terus?
Kamu suka gitu sama dia?" tanya Kasih.
"Ehm,
suka? Nggak cuma suka, tapi kayak ngrasain cinta pada pandangan pertama.
Hahaha..." girang Dion menutupi suatu hal kecil yang terjadi. Raut wajah
Kasih, sedikit berubah setelah mendengar cerita Dion. Sebelumnya Dion tidak
pernah menceritakan hal seperti ini. Tentang wanita. Dan entah kenapa, Kasih
merasa cemburu. Sesak mendengarnya. Namun ia tetap menutupi kesedihan itu
dengan senyum indahnya.
"Oh,
terus kamu mau ngapain? Dekati dia?" tanya Kasih sambil terus menutupi
perubahan sikapnya.
"Jelas
dong, apalagi dia satu ekstrakurikuler sama kita, anggota baru gitu Sih. Aduh
senangnya, bisa tambah semangat nih. Haha... Tapi bingung dekatinya gimana?
Menurutmu gimana? Langkah awal aku harus ngapain? Bantuin aku dong biar dekat
sama dia." pinta Dion dengan memasang muka memelas.
Dengan
menahan sedikit rasa sakit dan kecewanya, Kasih berbicara.
"Ehm,
oke deh. Nanti gampang aku dekati dia dulu. Kalau udah, aku dekatkan dia sama
kamu. Oke?" jawab Kasih dengan ceria yang sedikit memaksa.
"Huaaa,
makasih Kasih sayang..."
Mereka
melanjutkan makan, dan setelah itu segera pulang ke kos masing-masing.
***
Kost
Bintang.
Di
dalam kamar Kasih duduk termenung memandang fotonya bersama Dion. Hatinya
berkata "Sesuatu yang aku takutkan akhirnya terjadi."
kring...
kring... Dering handphone membuyarkan lamunan Kasih.
"Halo,
Dion."
"Hai
Sih, lagi apa?" terdengar suara Dion dari seberang
"Lagi
di kamar aja nih, kenapa?"
"Sih,
hari Jumat nanti kita kan ada acara keakraban di taman kampus, kamu datang
kan?"
"Iya
datang, kenapa?"
"Ehm,
nggak lupa kan sama rencana kita dekati si anak baru yang aku ceritain tadi sore?"
"Iya,
inget-inget Yon, tenang aja. Aku bakal beraksi kok hari Jumat nanti. Aku
mintain nomor hapenya sekalian deh." terang Kasih.
"Asik,
makasih ya. Aku tunggu kabarnya. Da..."
"Hah?
Kamu telepon aku cuma mau ngomong itu?" tanya Kasih dengan heran.
"Iya
Sih, cuma mau ngingetin itu. Hahaha..." Klik.
***
Jumat.
Taman kampus.
"Selamat
sore buat semua anggota baru, para calon penyiar radio kampus. Kalian tahu kan,
kenapa sore ini kita kumpul di sini? Ceritanya kita mau ngadain keakraban nih
sesama anggota, baik yang lama maupun yang baru biar kita lebih dekat lagi dan
kenal satu sama lain. Karena di sini kan kita bakal jadi satu keluarga, jadi
wajib hukumnya buat saling mengenal." terang seorang mahasiswa yang juga
pengurus radio kampus.
Dari
jarak yang tidak cukup jauh dari si pembicara, terlihat Kasih dan Dion duduk
berdampingan sambil mengamat-amati anggota-anggota baru mereka.
"Mana
Yon, cewek yang kamu maksud?"
"Itu
loh, kelihatan kok dari sini. Pakai baju merah, celana panjang hitam. Rambut panjang
digerai, cantiknya..."
"Oh
itu, iya aku lihat. Iya dia cantik banget Yon" puji Kasih.
"Haha...
Cantik kan. Ayok dong deketin aku sama dia. Kalian kan satu prodi pasti cepat
dekatnya. Jujur aku malu nih nggak tahu kenapa. Mau dekati agak gerogi gimana
gitu. Hehe..."
Dion
tidak seperti biasanya. Pemalu? Itu bukan sifatnya. Gadis itu mampu membuat
Dion malu dan gerogi untuk mendekati dirinya. Sungguh, ini sesuatu yang aneh.
Benarkah Dion sungguh-sungguh tertarik dengan gadis itu? Kasih masih bergumul
dengan pikirannya sekalipun ia sedang berbicara dengan Dion. Namun, dia akan
lebih senang jika melihat Dion senang, walaupun hatinya sudah mulai merasakan
sakit.
Saat
waktu istirahat, Kasih pun mendekati gadis itu, dan mulai menyapanya.
"Hai..."
sapa Kasih dengan ramah.
"Hai
juga mbak..." jawab gadis itu seramah mungkin.
"Boleh
kenalan nggak?"
"Boleh
mbak, boleh."
"Aku
Kasih, anak pendidikan bahasa Indonesia semester enam, kebetulan di sini jadi
pengurus radio kampus juga. Kalau kamu?
"Wah,
berarti mbak Kasih kakak tingkatku dong. Aku Sarah mbak, dari pendidikan bahasa
Indonesia juga semester empat." jawab gadis itu dengan riang.
"Wah
iya ya? Selamat bergabung ya adik tingkatku." seru Kasih dengan tulus.
"Oh
iya, aku kenalin sama sahabatku ya? Dia pengurus radio kampus juga lho. Dion,
sini..." teriak Kasih pada sahabatnya itu. Mendengar namanya dipanggil,
Dion langsung berlari menuju ke arah sumber suara.
"Ya,
ada apa Sih?"
"Ini
kenalin salah satu anggota baru kita, namanya Sarah, anak pendidikan bahasa
Indonesia sama kayak aku, semester empat. Sarah, kenalin ini Dion sahabat
sekaligus partner dikepengurusan radio kampus. Dia anak pendidikan ekonomi,
semester enam." Kasih memperkenalkan.
"Hai,
Dion..." Dion menjulurkan tangannya sambil tersenyum malu.
"Hai
mas, aku Sarah." balas Sarah.
Sesuatu
yang sangat diharapkan dan dinanti-nantikan Dion, akhirnya tercapai. Tahap
perkenalan sudah bisa ia lalui, walaupun sedikit gerogi. Tahap pendekatan
selanjutnya, ia pun sudah berhasil mendapatkan nomor handphone Sarah
melalui Kasih. Dia mulai menghubungi Sarah melalui pesan-pesan singkatnya. Dion
senang, karena dia merasa mendapatkan respon yang baik dari Sarah. Demi
menambah intensitas pertemuannya dengan Sarah, dia rela mengantar-jemput Kasih
ke gedung kuliahnya. Awalnya Kasih menolak, namun demi Dion dia tidak
berkeberatan. Walaupun motivasinya hanya untuk melihat dan bertemu Sarah, namun
Kasih mencoba untuk memaklumi dan menahan perasaan sakitnya.
***
Empat
bulan berlalu.
Dion
semakin dekat dengan Sarah. Menelepon, mengantar Sarah ke kampus, menemani
Sarah siaran di radio, atau sekadar jalan-jalan hampir menjadi rutinitas Dion.
Walaupun Dion belum mengungkapkan apa yang dia rasa, namun dia sudah bisa
menangkap bahwa Sarah pun sudah mulai merasakan hal yang sama seperti dirinya.
Dion tidak ingin terburu-buru, hanya ingin lebih lagi mempersiapkan dirinya
untuk memulai sesuatu yang baru dengan Sarah. Dengan saling mengenal terlebih
dahulu dari setiap kelebihan sampai kekurangan sebelum menjalin ikatan. Karena
baginya, pacaran bukanlah sesuatu untuk main-main. Namun pacaran itu merupakan
proses menuju ke jenjang yang lebih tinggi yaitu pernikahan. Dia dan Sarah
sudah sama-sama mengerti akan proses itu dan mereka berdua berkomitmen untuk
saling mendoakan satu sama lain.
***
Kasih.
Dia masih saja memendam perasaannya terhadap Dion. Sungguh sakit sekali. Namun
dia berpikir alangkah lebih sakitnya ketika Dion tahu perasaannya dan merasa
bersalah tidak bisa membalas cintanya. Hal itu justru membuat Kasih takut kalau-kalau
persahabatannya menjadi renggang dan dia justru tidak bisa dekat dengan Dion
lagi. Dia lebih baik melihat Dion bersama Sarah, namun dia masih tetap bisa
berada dekat Dion, sebagai sahabat tentunya.
"Walaupun
hatiku sakit dan sangat sedih, tapi demi melihatmu bahagia dengan Sarah. Aku
rela Dion menahan perasaan ini. Demi kamu..." gumam Kasih dalam
kesendiriannya.
***
Jumat
sore, kantor radio kampus.
Terlihat
Kasih keluar dari ruang siaran. Tiba-tiba...
"Kasih..."
panggil seorang lelaki di belakangnya. Seketika Kasih menoleh.
"Iya
mas Kris, ada apa?" tanya Kasih.
Kris
adalah mahasiswa semester 8 yang sebenarnya sudah bisa dikatakan sebagai alumni
penyiar radio kampus, karena saat ini dia tinggal menunggu wisuda satu bulan
lagi. Namun, untuk mengisi waktu-waktu kosongnya, dia lebih banyak berkunjung
ke kantor radio kampus. Sesekali dia juga masih mengisi siaran sebelum dirinya
resmi menjadi alumni.
"Ehm,
habis siaran ini kamu mau kemana Sih" tanya Kris.
"Aku
mau langsung pulang ke kos mas. Kenapa?"
"Kalau
aku ajak keluar mau nggak? Temenin aku beli sesuatu buat seseorang. Bisa?"
Hah? Nggak salah nih? Mas Kris
yang hampir nggak pernah ngobrol, jangankan ngobrol, ngomong sama dia aja bisa
dihitung jari. Tiba-tiba sekarang, ngajak pergi? Sehat kan nih orang? Batin
Kasih.
"Eh?
Pergi kemana mas? Kok tumben? Hehe..." tanya Kasih masih dengan perasaan
aneh.
"Ke
mall aja gimana? Aku mau cari sesuatu buat cewek nih. Karena ini ruangan berasa
sepi dan nggak ada cewek yang bisa diajak, yaudah aku ajak kamu aja. Nggak
apa-apa kan?"
"Oh
iya mas, nggak apa-apa kok. Tapi aku kan bawa motor, gimana?"
"Pakai
motorku aja, kita ke kosmu dulu taruh motormu, terus kamu bonceng aku. Oke
ya"
"Oh
okelah kalau begitu."
Mereka
berdua segera bergegas menuju kos Kasih, meninggalkan motornya di kos. Kemudian
mereka berdua berboncengan menuju mall baru di daerah Solo Baru.
***
Sesampainya di Harsini Mall, Solo
Baru.
"Emangnya kamu mau cari apa
mas?" Kasih mencoba membuka percakapan.
"Mau cari cincin nih, bantuin aku
ya buat cari yang bagus." jawab Kris.
Dia itu sebenarnya lelaki yang baik
dan dewasa. Tapi memang sifatnya terkadang sedikit cuek. Plegmatis. Justru
disitulah letak pesonanya, menurut orang-orang di sekitarnya.
"Oh iya mas, kalau aku bisa ya.
Hehe... Memangnya cincin buat siapa mas? Pacarmu?"
"Bukan."
"Terus buat siapa? Calon
istrimu? Hehehe..." gurau Kasih.
"Bisa,
doakan aja jadi isteriku di masa datang." dengan muka yang masih sedikit
acuh. Namun tiba-tiba Kasih terdiam sejenak. Ada satu guratan senyum tersirat
dari raut wajahnya. Sangat mempesona.
"Ini dia tokonya. Ayo masuk!
Kamu lihat-lihat dulu terus pilih cincin yang kamu suka. Kalau udah ketemu
langsung bilang aku ya, biar aku lihat dulu."
"Oke mas. Aku coba cari
ya..."
***
Lima belas menit berlalu.
Akhirnya...
"Mas,
aku udah nemu nih. Sini lihat dulu!" seru Kasih pada Kris. Lalu Kris
segera menghampiri. "Mana?"
"Ini
mas, bagus nggak?"
"Kamu
suka?"
"Iya,
lucu mas. Sederhana tapi tetep keliatan cantik. Eh loh? Kenapa malah tanya aku suka
atau nggak? Apa hubungannya kalau aku suka sama cincin ini?" Kasih sedikit
bingung.
"Nggak,
kalau kamu suka pasti dia juga suka. Soalnya dia tipe orang kayak kamu. Aku
ykin kalau kamu suka, dia juga suka."
"Masa
sih? Tapi kan orang punya pilihan masing-masing mas walaupun kata mas tipe dia
hampir mirip sama aku? Kalau nanti dia nggak suka, aku nggak mau tanggung jawab
lho ya." jelas Kasih panjang lebar.
"Udah
deh percaya aja sama aku. Dia pasti suka. Yaudah yuk kita makan." ajak
Kris.
"Loh
makan? Terus cincinnya nggak jadi dibeli? Kasih semakin heran lagi.
"Nggak
ah, berubah pikiran." jawab Kris enteng.
Batin
Kasih agak jengkel, "Ngapain ngajak-ngajak, nyuruh nyari cincin eh
akhirnya nggak dibeli. Sebenernya maunya dia apa sih?"
"Makan
di sini aja ya." ajak Kris sambil menuju ke sebuah tempat makan di mall
itu.
"Iya
mas."
Ketika
Kasih dan Kris sedang menunggu pesanan makanan mereka. Tiba-tiba ada sepasang
muda-mudi menghampiri mereka. Kasih sangat kaget dan sedikit kecewa.
"Dion,
Sarah... kalian juga ada di sini?" tanya Kasih.
"Iya
nih Sih, kita lagi jalan-jalan cari sepatu buat Sarah. Loh, sama mas Kris juga?
Kok bisa? Mas..." sapa Dion dan Sarah pada mas Kris.
"Hai
Dion, apa kabar?" sapa Kris pada Dion.
"Baik
mas, mas Kris sendiri gimana?"
"Aku
jug baik kok."
"Kok
kalian tumben-tumbenan bisa jalan berdua?" cengir Dion.
"Iya
tadi mas Kris ngajak beli cincin buat calon istrinya tapi nggak jadi beli.
hem..."
"Hah,
calon istri? Siapa mas? Hayoh..." canda Dion.
"Masih
didoakan kok, kamu bantu doa ya." jawab Kris.
Suasana
lebih santai dibandingkan tadi. Mas Kris juga sudah mula tertawa-tawa. Namun
ada satu perasa
n yang berbeda dalam diri Kasih semenjak kedatangan Dion dan
Sarah. Ternyata rasa itu masih ada, Kasih masih merasa sedikit cemburu. Dan
tanpa seorangpun tahu, diam-diam ada yang memperhatikan dan mencuri pandang
terhadap Kasih.
"Mas
Kris, Kasih, kita pamit duluan ya. Masih harus cari sepatu lagi, belum dapat.
Obrolan kita sambung lagi kalau ketemu di kantor radio kampus. Bye..." Dion
dan Sarah pun pergi. Setelah Dion dan Sarah pergi, Kris minta ijin sebentar
kepada Kasih dengan alasan ingin membeli sesuatu untuk keperluan pribadi. Tidak
terlalu lama, Kris segera kembali.
"Kamu
kenapa?" tanya Kris tiba-tiba.
"Hah?
Nggak ada apa-apa mas. Memangnya aku kenapa?" tanya Kasih sokpolos.
"Udah
nggak usah bohong sama aku."
"Beneran
mas, nggak ada masalah apa-apa? Kok mas Kris tiba-tiba tanya begitu?"
"Matamu
nggak bisa bohong Sih. Kamu memendam sesuatu?" selidik Kris.
"Ah,
nggak kok mas. Aku nggak memendam apa-apa. Tenang aja deh. Ayo makan,
makanannya udah datang. Asik, mari makan." Kasih mencoba mengalihkan
pembicaraan, namun Kris meyakinkan diri sendiri kalau dia tidak bisa dibohongi.
Apalagi oleh Kasih.
Seusai
makan. Pukul 19.13
"Kita
mau kemana lagi mas? Pulang?"
"Nggak.
Temani aku ke Taman Kota ya."
Merasa
tidak enak kalau menolak, akhirnya Kasih pun setuju. "Boleh mas."
***
Taman Kota, 19.25
"Kita duduk di sini aja."
ajak Kris sambil mempersilakan Kasih duduk.
"Kamu ada masalah sama
Dion dan Sarah?" tanya Kris to the point.
"Hah? Kok tanyanya begitu?
Nggak kok." jawab Kasih sedikit jengkel karena merasa disudutkan terus
menerus oleh Kris.
"Emangnya penting banget ya mas
buat kamu kalau memang aku ada masalah sama orang lain? Dari mall tadi kok
tanyanya kayak begitu mulu?" Kasih mulai terganggu dengan
pertanyaan-pertanyaan Kris. Mendengar jawaban Kasih, Kris langsung berusaha
menguasai suasana dengan menggunakan kata-kata dan intonasi yang agak santai.
"Yaudah yaudah, kalau memang
nggak ada masalah ya nggak apa-apa. Aku cuma ngerasa aja tiap di depan Dion
ataupun Sarah kamu langsung sedikit berubah. Mungkin kamu tetap memperlihatkan
seorang Kasih yang ceria jadi mereka nggak curiga, tapi aku bisa lihat dari
sorot mata kamu. Ada sesuatu yang kamu pendam entah apa itu, yang pasti itu
beban dan nggak baik buat kamu. Aku tanya begitu barangkali kamu mau cerita,
dan kali aja aku bisa bantu mengurangi beban kamu. Tapi kalau memang kamu rasa
nggak ada yaudah nggak apa-apa." penjelasan yang cukup panjang dari Kris,
sekaligus untuk memancing Kasih supaya mau menceritakan permasalahannya.
"Sebenarnya..." Kris
tersenyum. Kasih pun mulai menceritakan permasalahannya.
"Iya mas, aku sama Dion
bersahabat sejak jadi penyiar di radio kampus. Kita dekat banget hampir kayak
orang pacaran. Tapi itu salah, sedekat apapun kita, kita akan tetap jadi
sahabat. Dan tanpa aku sadari, ternyata rasa sayangku ke dia lebih dari seorang
sahabat. Cewek mana yang nggak seneng kalau bisa diperhatikan, dimanja, dijaga
sama seorang cowok. Aku jadi selalu merasa spesial buat dia dan takut kalau dia
sampai suka sama cewek lain. Aku nggak mau itu terjadi, nggak mau rasa sayang
itu terbagi buat cewek lain." Kasih menghela nafas sejenak.
"Dan
akhirnya apa yang aku takutkan terjadi mas. Dia ternyata mulai suka sama Sarah.
Dan dia minta tolong sama aku buat jodohin dia sama Sarah. Sakit banget rasanya
mas, jodohin seseorang yang kita sayang sama orang lain. Tapi nggak apa-apa,
aku pikir lebih baik aku yang nahan sakit itu daripada aku harus ngomong
perasaanku ke Dion dan justru bisa membuat hubunganku sama Dion jauh. Tetap
dekat sama Dion itu udah cukup buat aku, walaupun sakit harus sering-sering
lihat dia selalu bareng sama Sarah mas. Hem..." Perlahan air mata keluar
dari mata indah Kasih. Untuk pertama kalinya, Kris melihat Kasih yang ceria
menangis di hadapannya. Kris termenung, membiarkan Kasih menuntaskan air
matanya.
Menyadari
dirinya terlalu terlarut dalam suasana sedih. Kasih segera kembali berusaha
menguasai dirinya.
"Eh,
maaf ya mas. Aku malah curcol, pakai acara nangis lagi. Ketahuan cengengnya ya
mas? Maaf maaf mas..." ungkap Kasih dengan malu-malu.
"Iya,
nggak apa-apa Sih. Aku malah senang kamu bisa jujur sama aku. Karena sebenarnya
ini yang aku inginkan." Kris terdiam sejenak.
"Kamu
udah mau jujur sama aku. Sekarang aku yang mau ngomong jujur sama kamu.
Sebenarnya udah lama aku perhatikan kamu. Sejak kamu gabung sama radio kampus.
Aku kagum sama kamu yang selalu ceria, lincah, apa adanya dan sesedih apapun
kamu hampir nggak pernah kamu tunjukkan ke orang lain. Aku sering ke kantor
radio ya salah satu alasannya ingin ketemu kamu, lihat kamu. Tapi aku mulai
merasa kamu berbeda sejak Dion dekat sama Sarah, mungkin perubahan itu nggak
terlalu mencolok buat anak-anak kantor. Tapi buat aku itu terlihat banget.
Keceriaan yang tulus itu tercuri. Dan aku nggak nyaman dengan itu. Makanya aku
berani mendekati kamu sekarang. Dan maaf tanpa basa-basi aku langsung ngomong
seperti ini."
"Tadi
kamu tanya, penting nggak sih buat aku kalau kamu bermasalah sama orang lain?
Buat aku itu penting. Bukan hanya buat kepentinganku sendiri. Tapi kamu tahu
nggak sih, sesuatu yang tulus dari hati kamu akan berdampak baik buat
lingkungan sekitarmu, itu akan berpengaruh banget. Setiap ketulusan kasih yang
dari hati itu akan menjadi berkat buat orang lain. Memberikan energi positif
buat lingkungannya. Dan kamu punya itu lebih besar dari orang lain. Anak-anak
mungkin nggak terlalu melihat perubahan kamu, tapi mereka udah mulai merasakan
perubahan itu, perubahan yang pengaruhnya kurang baik."
Kasih
hanya terdiam. Dia tidak menyangka kalau diam-diam Kris sudah memperhatikannya
sejak dulu. Dan dia juga tidak menyangka sebegitu pedulinya Kris pada dirinya.
Sebegitu banyak kata-kata yang selama ini dipendamnya.
"Kalau
sampai saat ini kamu masih berpikir bahwa cinta sejati adalah ketika kamu
mengorbankan perasaanmu untuk orang yang kamu sayang, sedangkan sampai saat itu
hatimu masih dalam bayang-bayang kesedihan, aku katakan itu salah. Salah besar!
Kasih yang sejati itu sabar, murah hati, tidak cemburu, tidak memegahkan diri,
tidak sombong, tidak melakukan yang tidak sopan, tidak mencari keuntungan diri
sendiri, tidak pemarah, tidak menyimpan kesalahan orang lain, tidak bersukacita
karena ketidakadilan tetapi bersukacita karena kebenaran, menutupi segala
sesuatu, mengharapkan segala sesuatu dan sabar menanggung segala sesuatu.
Ketika kamu memilih untuk merelakan dia dengan seseorang yang dia kasihi, ya
sabarlah dan jangan cemburu. Kasihmu harus menutupi segala sesuatu. Ketika kamu
masih dalam kesedihan itu, kamu belum bisa merelakannya tulus dari hati kamu.
Seolah kamu menyimpan kesalahan dia yang terus membuat kamu sakit. Kamu harus
menutupi kesedihan itu dan bertanggung jawab untuk menghapuskan kesedihan itu.
Teruslah sabar dan berharap akan sukacita yang benar yang akan kamu dapatkan
sebagai ganti kesedihan itu. Kasih yang sejati, akan berakhir bahagia, bukan
kesedihan. Ketika kamu merelakan dia bahagia dengan orang lain, kamu pun harus
memiliki pengharapan akan memiliki akhir yang bahagia pula bersama orang yang
memang diciptakan untuk kamu." dengan tenang Kris mengungkapkan itu semua.
Mendengar
semua kata-kata Kris, hati Kasih langsung terasa hancur. Hancur karena dia
menyadari akan kesalahan yang selama ini dibiarkan terus tetap berada di dalam
hatinya. Kesalahan karena dia tetap memelihara rasa sakit, kecewa, kepahitan
yang menutupi kasih sejati yang harusnya dia bagikan untuk orang lain. Malam
itu, Kasih sungguh-sungguh tidak bisa menahan lagi air matanya. Begitu deras
air mata itu mengalir tanpa henti. Di sampingnya, Kris setia menemani Kasih,
mengucap syukur ketika Kasih menyadari kekeliruannya selama ini, dan berusaha
menenangkan Kasih, membantu membangkitkan cinta kasih sejati yang ada di dalam
hati Kasih. End.